BINATANG YANG HARAM DIMAKAN
Pertama : Barri (Binatang Darat).
Yaitu binatang yang sebagian besar hidupnya di darat, baik dari jenis hewan
maupun burung. Binatang darat ini ada yang suci (halal), seperti: al-An’am
(binatang ternak) yaitu onta, sapi, kambing, kuda, dan lainnya.
Kuda
termasuk halal –walaupun sebagian ulama mengharamkan-, berdasarkan hadits Asma’
binti Abu Bakar yang berkata:
نَحَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًا فَأَكَلْنَاهُ
Pada
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menyembelih kuda kemudian kami
memakannya.” Dalam riwayat yang lain ditambah: “Kami berada di Madinah“
[Muttafaq Alaih].
Binatang
Darat Yang Haram.
Adapun di antara binatang darat yang di haramkan untuk di makan adalah sebagai
berikut:
Haram
Dimakan Karena Binatangnya Sendiri (Zatnya). Seperti:
1. Babi.
Sebagaimana firman Allah.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُب
Diharamkan
bagimu [memakan] bangkai, darah, daging babi, [daging hewan] yang di sembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kamu sempat menyembelihnya, dan
yang disembelih untuk berhala. [Al-Maidah :3]
Dari
keumuman ayat di atas maka semua yang berkaitan dengan babi baik kulit, daging,
minyak, lemak dan lainnya diharamkan untuk dimakan dan dimanfaatkan untuk
keperluan apapun.
2.
Anjing.
Ia diharamkan karena termasuk Al-Khabaits [sesuatu yang buruk dan menjijikkan]
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ
Sejelek-jelek
pendapatan adalah upah pelacur, harga anjing dan pendapatan tukang bekam.
[HR.Muslim No. 1568]
Allah
telah mengharamkan semua yang khabaits (jelek), dan yang buruk sebagaimana
firman-Nya.
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
Dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf : 157].
Juga
hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang
memerintahkan untuk mencuci bejana dari jilatan anjing dengan basuhan tujuh
kali dan salah satunya dicampur dengan tanah ,menunjukkan keharaman dari
anjing. Dalam kaidah Ushul juga dikenal Qiyas aula, yaitu kalau harganya saja
diharamkan atau sebagian tubuhnya saja mesti disucikan, maka lebih diharamkan
memakan binatangnya.
Dan
pada dasarnya memelihara anjing dilarang oleh agama, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
Barangsiapa
memelihara anjing yang bukan untuk berburu atau anjing untuk menjaga tanaman,
maka kebaikannya akan berkurang dua Qirath’ setiap hari. [HR. Muslim dari Ibnu
Umar]
Dalam
riwayat Muslim yang lain Ibnu Umar berkata: “Kami diperintahkan untuk membunuh
anjing, kecuali anjing untuk berburu dan anjing untuk menjaga tanaman.”
3.
Semua Binatang Bertaring Yang Dengan Taringnya Ia Memangsa Dan Menyerang
Musuhnya
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda.
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
Semua
binatang yang bertaring, maka memakannya adalah haram.[HR.muslim].
Juga
apa yang diriwayatkan oleh Idris Al-Khalulani, dia mendengar Abu Tsa’labah
al-Khutsani berkata.
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِعَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Rasulullah
melarang memakan semua binatang yang mempunyai taring. [HR. Muslim : No 1932]
4.
Semua Bangsa Burung Berkuku Yang Dengan Kukunya Ia Mencengkeram Atau Menyerang
Musuh-musuhnya.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ وَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Bahwa
ketika perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
memakan semua burung yang mempunyai kuku panjang dan setiap binatang buas yang
bertaring. [HR.Muslim]
Burung
yang berkuku di atas adalah yang buas, sehingga tidak termasuk sebangsa ayam,
burung merpati dan sejenisnya. Abu Musa Al As’ariy Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Saya melihat Rasulullah memakan daging ayam.” [Muttafaq Alaih]
5.
Binatang-Binatang Yang Diperintahkan Untuk Dibunuh.
Merupakan hikmah Allah adalah Dia memerintahkan manusia untuk membunuh beberapa
jenis binatang. Karena binatang-binatang sering mengganggu dan membahayakan
manusia. Karena binatang tersebut dianjurkan untuk dibunuh, maka itu sebagai
isyarat atas larangan untuk memakannya. Karena kalau binatang itu boleh
dimakan, maka akan menjadi mubazzir kalau sekedar dibunuh, padahal Allah
melarang hambaNya untuk melakukan hal-hal yang mubazzir [Al-Isra’: 26-27].
Di
antara binatang-binatang tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
Dari
Aisyah Radhiyallahu ‘anha Rasulullah bersabda: “Lima binatang jahat yang boleh
dibunuh, baik di tanah haram atau di luarnya: tikus, kalajengking, burung buas,
gagak, dan anjing hitam. [HR.Bukhari No;3136]
Termasuk
binatang yang diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak, seperti yang
diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak, dan
beliau dinamakan Fuwaisiqah (binatang jahat yang kecil)”. [HR. Muslim]
Pada
riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِي الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِي الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
Barangsiapa
membunuh cecak dengan sekali pukulan, ditulis baginya seratus kebajikan,
barangsiapa yang membunuhnya pada pukulan yang kedua maka baginya kurang dari
itu, dan pada pukulan yang ketiga baginya kurang dari itu. [HR. Muslim]
6.
Binatang-Binatang Yang Dilarang Untuk Dibunuh.
Sebaliknya ada beberapa jenis binatang yang dilarang oleh agama untuk dibunuh.
Maka dilarangnya membunuh binantang itu, berarti dilarang pula memakannya.
Karena kalau binatang itu termasuk yang boleh dimakan, bagaimana cara
memakannya kalau dilarang membunuhnya? Di antara binatang tersebut adalah
seperti yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ
Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat jenis binatang,
yaitu: semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad (sejenis burung gereja).
[HR. Abu Daud, Kitab al-Adab, Bab fi Qatli Ad-Dzur No; 5267].
Sebagian
ulama berpendapat bahwa kodok termasuk dalam hal ini. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Utsman, seorang thabib (dokter) datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm dan bertanya tentang kodok yang dibuat
menjadi obat, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuhnya.
[HR.Ahmad, Nasa’i dan dishahihkan oleh Al-Hakim]
Kodok
bisa hidup di dua tempat di air dan di darat, seperti halnya buaya, maka
sebagia ulama mengharamkannya.
7.
Binatang Yang Lahir Dari Perkawinan Dua Jenis Binatang Yang Berbeda, Yang Salah
Satunya Halal Dan Yang Lainnya Haram.
Hal ini karena memasukkannya ke binatang yang haram lebih baik dari
menghubungkannya kepada induknya yang halal. Seperti Bighal yang lahir dari
keledai negeri yang haram dimakan dan kuda yang boleh dimakan.
8.
Binatang Yang Menjijikkan.
Semua yang menjijikkan -termasuk binatang – diharamkan oleh Allah. Sebagaimana
firmanNya:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ
Dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf : 157].
Namun
kriteria binatang yang buruk dan menjijikkan pada setiap orang dan tempat pasti
berbeda. Ada yang menjijikkan pada seseorang misalnya, tetapi tidak menjijikkan
pada yang lainnya. Maka yang dijadikan standar oleh para ulama’ adalah tabiat
dan perasaan yang normal (salim) dari orang Arab yang tidak terlalu miskin yang
membuatnya memakan apa saja. Karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan
pertama kali dan dengan bahasa merekalah semuanya dijelaskan. Sehingga
merekalah yang paling mengetahui mana binatang yang menjijikkan atau tidak.
(lihat penjelasan syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, juz 9 hal.
26 dan seterusnya).
Kalau
binatang itu tidak diketahui oleh orang Arab, karena tidak ada binatang sejenis
yang hidup di sana, maka dikiyaskan (dianalogikan) dengan binatang yang paling
dekat kemiripannya dengan binatang yang ada di Arab. Jika ia mirip dengan
binatang yang haram maka diharamkan, dan sebaliknya. Tetapi jika tidak ada yang
mirip dengan binatang tersebut maka dikembalikan kepada urf (tradisi) penduduk
setempat. Kalau kebanyakan menganggapnya tidak menjijikkan, Imam at-Thabari
membolehkan untuk dimakan, karena pada asalnya semua binatang boleh dimakan,
kecuali kalau itu membahayakan.
Binatang
Yang Haram Dimakan karena Faktor Yang Datang Dari Luar.
Di antaranya adalah sebagai berikut;
1. Binatang sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.
Sebagaimana firman Allah
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan
janganlah kamu memakan binatang –binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
[Al-An’am : 121].
2.
Bangkai
Yaitu binatang yang mati dengan tidak disembelih; atau binatang yang disembelih
tetapi dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat; atau disembelih sesuai
dengan syariat tetapi dengan tujuan yang tidak dibenarkan oleh syara’, seperti
penyembelihan yang dipersembahkan kepada dewa atau ritual-ritual kesyirikan
lainnya. Sebagaimana firman Allah
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُب
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat
menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.
[Al-Maidah : 3].
Termasuk
sembelihan yang tidak boleh dimakan adalah sembelihan-sembelihan yang ditujukan
untuk arwah-arwah orang yang telah mati, arwah-arwah dewa, jin dan lainnya.
Begitu juga sembelihan orang Nashrani dan orang-orang non muslim yang dilakukan
pada kesempatan acara ritual dan upacara keagamaan mereka. Karena semuanya
termasuk ke dalam sembelihan yang disembelih untuk selain Allah.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan firman Allah وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
berkata: “Zahir
ayat ini menunjukkan larangan menyembelih untuk selain Allah, seperti
mengatakan: “Sembelihan
ini ditujukan untuk si fulan”,
dan lainnya. Kalau ini yang dimaksud maka diucapkan atau tidak sama saja. Dan
ini lebih diharamkan daripada mengatakan: “Saya menyembelih dengan nama
Al-Masih”, atau seumpamanya. Apabila menyembelih dengan nama al-Masih atau
al-Zahrah diharamkan, maka menyembelih untuk dipersembahkan demi al-Masih atau
al-Zahrah lebih diharamkan.
Oleh
karena itu menyembelih karena selain Allah untuk mendekatkan diri kepadanya
termasuk yang diharamkan. Sekalipun mereka membaca basmalah, sebagaimana yang
dilakukan oleh kelompok munafik dari umat ini yang mendekatkan dirinya kepada
bintang-bintang dengan sembelihan dan lainnya. Begitu juga yang dilakukan oleh
orang jahiliyah di Makkah yang menyembelih untuk jin, oleh karena itulah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan sembelihan yang
ditujukan untuk jin. [Lihat Fathul Majid hal. 126].
Az-Zamakhsyari
mencontohkan, kebiasaan orang-orang Jahiliyah apabila membeli rumah atau
membangun rumah baru, mereka mengeluarkan jin yang ada di dalamnya dengan
menyembelih sesembelihan, hal itu dilakukan karena takut diganggu oleh jin.
Ibrahim
al-Marwazi juga menyebutkan bahwa sembelihan yang dilakukan ketika menyambut
pemimpin untuk mendekatkan diri kepadanya, telah difatwakan keharamannya oleh
ulama-ulama Bukhara, karena termasuk yang disembelih karena selain Allah.
[Lihat Fathul Majid hal. 127]
Orang
yang melakukan penyembelihan karena selain Allah telah melakukan satu
kesyirikan, karena menyembelih juga termasuk ibadah yang harus dilakukan karena
Allah dan untuk Allah sebagaimana firman Allah:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
{162} لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku krena Allah pemilik sekalian alam. Tidak
ada sekutu bagiNya dan demikianlah kami diperintahkan dan saya termasuk
orang-orang yang muslim. [Al-An’am: 162-163].
Orang
yang melakukan penyembelihan untuk selain Allah akan mendapat laknat dari
Allah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ali bin Abi
Thalib.
Termasuk
juga katagori bangkai adalah daging yang diambil dari binatang yang masih
hidup. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Waaqid al-Laitsi, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apa yang diambil dari binatang yang
masih hidup adalah termasuk bangkai”. [HR. Abu Daud].
Namun
ada juga bangkai yang boleh dimakan, yaitu bangkai ikan dan belalang,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
Dihalalkan
bagi kita dua bangkai,…yaitu ikan dan belalang. [HR.Ibnu Majah, Shahih lihat
Silsilah Shahihah No;1118]
3.
Jalalah
Yaitu binatang yang sebagian besar makanannya adalah sesuatu yang kotor atau
najis, seperti bangkai atau kotoran lainnya. Walaupun pada awalnya ia adalah
binatang yang halal dimakan, tetapi menjadi tidak boleh dimakan apabila
binatang tersebut tidak mau makan atau lebih banyak memakan sesuatu yang kotor.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin umar, beliau berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullah
melarang memakan Jalalah dan meminum susunya. [HR.Abu Daud, Kitab
al-At’imah,Bab An-Nahyu an Aklil Jalah Wa Albaniha, No; 3785]
Dalam
riwayat lain ditambahkan:
Rasulullah melarang memakan Jalalah dari onta, menunggangnya, dan meminum
susunya. [HR.Abu Daud, Kitab al-At’imah,Bab An-Nahyu an Aklil Jalah Wa
Albaniha, No; 376].
Agar
Jalalah tersebut menjadi halal diharuskan untuk dikurung minimal tiga hari, dan
diberi makanan yang bersih atau suci, sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu
Umar bahwa beliau pernah mengurung ayam yang suka makan makanan yang kotor tiga
hari (Hadits Shahih riwayat Ibnu Abi Syaibah, Irwa’ No.2504).
Maksud
pengurungan itu adalah untuk mengembalikan binatang tersebut menjadi normal,
yaitu memakan makanan bersih yang biasa dia makan, sekalipun harus mengurungnya
lebih dari tiga hari atau kurang dari itu.
Kedua
: Bahrii (Binatang Laut)
Yaitu binatang yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, jika tinggal di
darat dalam waktu yang lama akan mati. Adapun binatang air yang sekali-kali
bisa hidup di darat, seperti kepiting, dan lainnya, maka menurut jumuhur ulama
dari mazhab Maliki, Syafii, dan Ahmad adalah suci dan boleh dimakan. Inilah
yang lebih kuat karena keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau bertanya kepada
Rasulullah tentang berwudhu’ menggunakan air laut, Nabi bersabda:
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Laut
itu suci airnya dan halal bangkainya. [HR.Tirmidzi, Kitab Abwab Atthaharah, Bab
Maa jaa Fi Maa’il Bahri annahu thahur No.69]
Imam
Tirmidzi berkata tentang hadits di atas: Hadits ini shahih dan itulah yang
dipegang oleh kebanyakan sahabat di antaranya Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhum.
Tetapi
ada sebagian sahabat yang memakruhkan bersuci dengan air laut, seperti Abdullah
bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr [Sunan Tirmidzi I/100].
Juga
sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah ketika mengikuti
sebuah peperangan dan mengalami kelaparan yang sangat, kemudian tiba-tiba ada
ikan besar yang sudah mati terdampar di tepi laut, yang tidak pernah dilihat
sebelumnya, Jabir berkata: “Kemudian kami memakannya setengah bulan. Dan Abu
Ubaidah mengambil salah satu tulangnya dan orang yang menunggang kuda bisa
lewat di bawahnya. Abu Ubaidah berkata: “Makanlah!”. Ketika sampai di Madinah
kami menceritakan semuanya kepada Nabi, kemudian beliau bersabda: “Makanlah!”,
itu adalah rizki yang dikeluarkan oleh Allah untuk dimakan. Kemudian beliau
meminta sisa ikan yang ada dan beliau juga ikut memakannya. [HR. Bukhari No.
4104].
Adapun
binatang laut yang mempunyai nama dan bentuk seperti binatang darat misalnya
anjing laut, babi laut, maka terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Mayoritas ulama mengatakan boleh dimakan, karena keumuman hadits yang
menyebutkan air laut suci dan bangkainya boleh dimakan. Namun sebagian di antara
mereka mengharuskan untuk disembelih terlebih dahulu karena termasuk binatang
yang mempunyai darah yang mengalir dan ini juga agar lebih cepat terbunuhnya.
[Majmu’ Syarah Muhazzab, Imam An-Nawawi, kitab al-Ath’imah]
MAKAN
YANG HARAM DALAM KEADAAN TERPAKSA
Allah berfirman.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya
yang diharamkan bagimu hanyalah: bangkai, darah, daging babi, dan apa yang
disembelih karena selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampau batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[Al-Baqarah : 173]
Ibnu
Katsir berkata: “Barang siapa sangat butuh kepada makanan yang haram yang telah
disebutkan oleh Allah karena dharurat (keterpaksaan) yang dihadapinya, maka
boleh dia memakannya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadanya.
Dan Allah mengetahui kebutuhan hamba-Nya ketika dia dalam keterpaksaan.
Sehingga Dia memaafkan dan membolehkannya untuk memakan sesuatu yang
diharamkan-Nya. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “
Sesungguhnya Allah senang rukhsah-Nya (keringanan yang Dia berikan) dilakukan,
sebagaimana Dia tidak senang larangan-Nya dilakukan. [Hadits Shahih, Irwa’ No.
564)]
Bahkan
memakan binatang yang haram tersebut, hukumnya bisa wajib ketika keadaannya
memaksa, yang kalau itu tidak dimakan ia akan mati. Tetapi apakah memakan yang
haram tersebut hanya untuk sekedar pengganjal perut saja, atau boleh sampai
kenyang?, merupakan khilaf di antara ulama’. Namun ada qaidah yang mengatakan
“Addharuraat Tuqaddaru bi qadariha“ (keterpaksaan diukur sesuai dengan
ukurannya). Dan tidak ada batasan waktu, seperti: harus tidak lebih dari tiga
hari, sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang awam, tetapi kapan saja
dia terpaksa dia boleh memakannya, selama dia tidak berpura-pura terpaksa.
[Fiqhul Wajiz, Syaikkh Abdul Adzim bin Badawi Al-Khalafi, hal. 397]